BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata
tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran islam,
terdapat lebih dari satu aliran yang berkembang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan pendapat dikalangan
ulama’-ulama’ kalam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan
bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia.
Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Jabariyah dan Qodariyah. Aliran
Qodariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mampunya
qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya.
Kalaupun ada kehendak dan kebebasan yang
dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun,
karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata.
Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada
ayat-ayat Al-Qur’an. Qodariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir
ayat 38 yang artinya: tiap-tiap diri
bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan Jabariyah
bersandar pada surat al-Hadid ayat 22 yang artinya: tidak ada bencana yang
menimpa bumi dan diri kam, kecuali yelah ditentukan didalam buku sebelum kami
wujudkan. Dalam sejarah teologi islam, paham Qodariyah selanjutnya di anut oleh kaum Mu’tazilah,
sedngkan paham Jabariyah terdapat dalam
aliran Asy’ariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. JABARIYAH
1. Asal-usul
Pertumbuhan Jabariyah
kata Jabariyah berasal dari kata jabara
yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah
berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu.[1] kalau
dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah),
itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim
maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya,
kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah
(dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme).
Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa faham al-jabr berarti
menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya
kepada Allah.[2]
dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa.
Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination,
yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari
semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul
kemunculan dan perkembangan Jabariyah. Perlu dijelaskan mengenai orang
yang melahirkan dan menyebarluaskan faham . al-jabar dan dalam situasi
apa saja faham ini muncul.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh
Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam
sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah
dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan
selalu menemaniya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.[4] Namun,
dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembagkan oleh tokoh lainnya
diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para
ahli pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa arab. Di mana
ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa
Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam
cara hidup mereka.[5]
Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap
penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam
situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan
sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam
menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada
kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.[6]
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah
muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini.
a. Suatu
ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir
Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar
terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[7]
b. Khalifah
Umar bin Khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika
diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.”
Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu telah berdusta
kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri
itu. Pertama, hukuman ptong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman
dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[8]
c. Khalifah
Ali bin Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang
qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya,
“Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar
Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya”. Ali menjelaskan bahwa qadha
dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan
amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan
paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman
Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi
orang-orang yang baik.[9]
d. Pada
pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi
keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[10]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar
telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir
atau aliran yang di anut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa
pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan
di atas.[11]
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, adan
yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing,
yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[12] Namun,
tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan
umat islam.
B. QADARIYAH
1.Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara
yang artinya kemampuan dan kekuatan.[13] Adapun
menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang
percaya bahwa segala tindakkan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran
ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya;
Ia dapat ber buat sesuatuatau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[14]
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk
nama suatu aliran yang memberi peneknan atas kebebasan dan kekuatan manusia
dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution
menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia
mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[15]
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada
aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku
manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah
melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[16] Menurut
Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan
mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.[17] Hadis
itu berbunyi:
اَلْقَدَرِيَّةُ
مَجُوْسُ هذِهِ الأُمَّةِ
Artinya:
“kaum Qadariyah adalah majusinya umat
ini”.[18]
Kapan Qadariyah
muncul dan siapa tokoh-toohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan.
Menurut Ahmad Amin, ada ahliteologi yang megatakan bahwa Qadariyah
pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dismasyqy.[19]
Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri.[20]
Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi
maula Usman bin Affan.[21]
Ibnu Nabata
dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin memberi
informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qodariyah
adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik
lagi ke Agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham
ini.[22]
Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang
memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.[23]
Sementara itu,
W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam
bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun
1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab
Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri
sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di
Irak. Ia lahir di Medinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal
di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah
atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas,-berdasarkan
catatannya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini- ia percaya bahwa
manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik dan buruk. Hasan yakin
bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.[24]
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dismasyqi, menurut
Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.[25] Kalau dihubungan
dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizam Al-I’tidal, seperti dikutip
Ahmad Amin yang meyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan
Al-Bashri, maka sangat faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan
Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang di tulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syahrul
Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang
masuk Islam kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang
tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan
pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kramer, seperti dikitip lgnas
Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir
doktrin Qadariyah yang mencekam pikirann para teolognya.[26]
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah
muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan
kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat
mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali.
Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian
Hasan Al-Basri. pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Nabatah bahwa yang mencetuskan
pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang
telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian
lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh
pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana
khalifah.[27]
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari
umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi
keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat
Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan
bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu
terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan
gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi
kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. faham itu terus
dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah
dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu
dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tatangan
ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah.
Ada kemungkinan juga pejabat pemerintahan menganggap gerekan faham Qadariyah
sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada
gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai,
dan bahkan dapat menggulingkan mereka tahta kerajaan.
C. PERBEDAAN DAN
PERSAMAAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
Perbedaan antara kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah
adalah: aliran Qadariyah yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat buruk maupun
berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang
dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang
diperbuatnya.
Sedangkan aliran Jabariyah ini berpendapat bahwa
segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar
Tuhan. Segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari
kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun
persamaannya, Qadariyah dan Jabariyah ini adalah sama-sama aliran kepercayaan (teologi)
sesuai dengan konteks-politik yang terjadi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik
aliran Qadariyah maupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan
sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Al-Qur’an. Hal ini memperlihatkan
betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Namun
pendapat mana yang lebih baik, tidaklah bias dinilai sekarang. Penilaian yang
sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan diakhirat nanti. Penilaian baik atau
tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan
cara mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang
berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di
masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.
Daftar Pustaka
Abdul
Rozak, Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
[1]
Luwis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-lughah wa Al-Alam. Beirut, Dar Al-Masyriq,
1998.hlm. 78.
[2]
Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Bairut, hlm. 85.
[3]
Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan ,
UI. Press, cet. V. Jakarta, 1986, hlm. 31
[4]
Ibid., hlm. 33.
[5]Ahmad
Amin. Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan
Muhammad wa Auladi. Kairo, 1924, hlm. 45.
[6]
Nasution, loc, cit.
[7]
Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Beuneuubi
Cipta. Jakarta, 1987, hlm. 27-29.
[8]
Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, kairo, 1958, hlm.
15.
[9]
Ibid., hlm. 28.
[10]
Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Dar
Ats-Tsaqafah, Kairo, 1980, hlm. 98.
[11]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, UIPress, cet. VI,
Jakarta, 1986, hlm. 37.
[12]
Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Rajawali, 1991, Jakarta, hlm.
133.
[13]
Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Bairut, 1945, hlm.
436; lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic,
Wlesbanden, 1971, hlm. 745.
[14]
Al-Yusu’I, op. cit., hlm. 436.
[15]
Nasution, Teologi Islam. . .hlm. 31.
[16]
W. Montgomery Watt, Islamic Philisophy and Theology: An Extended
Survey, Harrassowitz, Edinburgh Univercity, 1992, hlm. 25.
[17]
Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li ashhabiha
Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924, hlm. 284.
[18]
Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi
Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jus II liafadz
Al-Hadis An-Nabawi, Jus V, E.J.Brill, Laiden, 1965, hal 318.
[19]
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 284
[20]
Ibid.
[21]
Ibid.
[22]
Ibid.
[23]
Al-Bagdadi, Al-Farq bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih. Kairo,
hlm. 18.
[24]
Watt, op. cit., hlm. 25.
[25]
Ibid., hlm. 28.
[26]
Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri
Setiawan. INIS, Jakarta, 1991, hlm. 79.
[27]
Ahmad Amin, op. cit., hlm. 286.
1 komentar:
terima kasihh
Posting Komentar