Jumat, 07 Maret 2014

MAKALAH PERBEDAAN DAN PERSAMAAN PEMIKIRAN KALAM ALIRAN JABARIYAH DAN QODARIYAH

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar belakang
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit yang dipahami pada umumnya. Dalam sejarah pemikiran islam, terdapat lebih dari satu aliran yang berkembang. Hal ini dikarenakan  adanya perbedaan pendapat dikalangan ulama’-ulama’ kalam dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Ada ayat-ayat yang menunjukkan bahwa manusia bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan ada pula ayat yang menunjukkan bahwa segala yang terjadi itu ditentukan oleh Allah, bukan kewenangan manusia. Dari perbedaan pendapat inilah lahir aliran Jabariyah dan Qodariyah. Aliran Qodariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan kata lain manusia mampunya qudrah (kekuatan atas perbuatannya). Sedangkan Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan kehendak dalam menentukan perbuatannya. Kalaupun ada kehendak dan kebebasan  yang dimiliki manusia, kehendak dan kebebasan tersebut tidak memiliki pengaruh apapun, karena yang menentukannya adalah kehendak Allah semata.
Kedua aliran ini masing-masing bersandar kepada ayat-ayat Al-Qur’an. Qodariyah antara lain bersandar pada surat al-Mudatsir ayat 38  yang artinya: tiap-tiap diri bertanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuatnya. Sedangkan Jabariyah bersandar pada surat al-Hadid ayat 22 yang artinya: tidak ada bencana yang menimpa bumi dan diri kam, kecuali yelah ditentukan didalam buku sebelum kami wujudkan. Dalam sejarah teologi islam, paham Qodariyah  selanjutnya di anut oleh kaum Mu’tazilah, sedngkan  paham Jabariyah terdapat dalam aliran Asy’ariah. 







BAB II
PEMBAHASAN
A.   JABARIYAH
1.      Asal-usul Pertumbuhan Jabariyah
kata Jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa. Di dalam Al-Munjid, dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1] kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat Al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk pertama), setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran (isme). Lebih lanjut Asy-Syahratsan menegaskan bahwa faham al-jabr berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya dan menyadarkannya kepada Allah.[2] dengan kata lain, manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam bahasa Inggris, Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu faham yang menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan.[3]
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai asal-usul kemunculan dan perkembangan Jabariyah. Perlu dijelaskan mengenai orang yang melahirkan dan menyebarluaskan faham . al-jabar dan dalam situasi apa saja faham ini muncul.
Faham al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh Ja’d bin Dirham kemudian disebarkan oleh Jahm bin Shafwan dari Khurasan. Dalam sejarah teologi Islam, Jahm tercatat sebagai tokoh yang mendirikan aliran Jahmiyah dalam kalangan Murji’ah. Ia adalah sekretaris Suraih bin Al-Haris dan selalu menemaniya dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayah.[4] Namun, dalam perkembangannya, faham al-jabar juga dikembagkan oleh tokoh lainnya diantaranya Al-Husain bin Muhammad An-Najjar dan Ja’d Dirrar.
Mengenai kemunculan faham al-jabar ini, para ahli pemikiran mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa arab. Di mana ahli yang dimaksud adalah Ahmad Amin. Ia menggambarkan bahwa kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir Sahara memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka.[5] Ketergantungan mereka kepada alam Sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan diri terhadap alam.
Lebih lanjut, Harun Nasution menjelaskan bahwa dalam situasi demikian, masyarakat Arab tidak melihat jalan untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keinginannya sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung pada kehendak alam. Hal ini membawa mereka kepada sikap fatalism.[6]
Sebenarnya benih-benih faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas. Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini.
a.       Suatu ketika Nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.[7]
b.      Khalifah Umar bin Khaththab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu berkata “Tuhan telah menentukan aku mencuri.” Mendengar ucapan itu, Umar marah sekali dan mengangap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu, Umar memberikan dua jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman ptong tangan karena mencuri. Kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.[8]
c.       Khalifah Ali bin Thalib sesuai Perang Shiffin ditanya oleh seorang tua tentang qadar (ketentuan) Tuhan dalam kaitannya dengan pahala dan siksa. Orang tua itu bertanya, “Bila perjalanan (menuju Perang Shiffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tak ada pahala sebagai balasannya”. Ali menjelaskan bahwa qadha dan qadar bukanlah paksaan Tuhan. Ada pahala dan siksa sebagai balasan amal perbuatan manusia. Sekiranya qadha dan qadar itu merupakan paksaan, batallah pahala dan siksa, gugur pulalah makna janji dan ancaman Tuhan, serta tidak ada celaan Allah atas pelaku dosa dan pujian-Nya bagi orang-orang yang baik.[9]
d.      Pada pemerintahan Daulah Bani Umayah, pandangan tentang al-jabar semakin mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya, memberikan reaksi keras kepada penduduk Syiria yang diduga berfaham Jabariyah.[10]
Paparan di atas menjelaskan bahwa bibit faham al-jabar telah muncul sejak awal periode Islam. Namun, al-jabar sebagai suatu pola pikir atau aliran yang di anut, dipelajari dan dikembangkan, baru terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayah, yakni oleh kedua tokoh yang telah disebutkan di atas.[11]
Berkaitan dengan kemunculan aliran Jabariyah, adan yang mengatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab Qurra dan agama Kristen bermazhab Yacobit.[12] Namun, tanpa pengaruh asing itu, faham al-jabar akan muncul juga di kalangan umat islam.
B.   QADARIYAH
1.Asal-usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan.[13] Adapun menurut pengertian terminologi, Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakkan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya; Ia dapat ber buat sesuatuatau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.[14] Berdasarkan pengertian tersebut, dapat difahami bahwa Qadariyah dipakai untuk nama suatu aliran yang memberi peneknan atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskan bahwa kaum Qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.[15]
Seharusnya, sebutan Qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.[16] Menurut Ahmad Amin, sebutan ini diberikan kepada para pengikut faham qadar oleh lawan mereka dengan merujuk Hadis yang menimbulkan kesan negatif bagi nama Qadariyah.[17] Hadis itu berbunyi:


اَلْقَدَرِيَّةُ مَجُوْسُ هذِهِ الأُمَّةِ
Artinya:
“kaum Qadariyah adalah majusinya umat ini”.[18]
Kapan Qadariyah muncul dan siapa tokoh-toohnya? Merupakan dua tema yang masih diperdebatkan. Menurut Ahmad Amin, ada ahliteologi yang megatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dismasyqy.[19] Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri.[20] Adapun Ghailan adalah seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin Affan.[21]
Ibnu Nabata dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin memberi informasi lain bahwa yang pertama sekali memunculkan faham Qodariyah adalah orang Irak yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke Agama Kristen. Dari orang inilah, Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini.[22] Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperoleh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.[23]
Sementara itu, W. Montgomery Watt menemukan dokumen lain melalui tulisan Hellmut Ritter dalam bahasa Jerman yang dipublikasikan melalui majalah Der Islam pada tahun 1933. Artikel ini menjelaskan bahwa faham Qadariyah terdapat dalam kitab Risalah dan ditulis untuk Khalifah Abdul Malik oleh Hasan Al-Basri sekitar tahun 700 M. Hasan Al-Basri (642-728) adalah anak seorang tahanan di Irak. Ia lahir di Medinah, tetapi pada tahun 657, pergi ke Basrah dan tinggal di sana sampai akhir hayatnya. Apakah Hasan Al-Basri termasuk orang Qadariyah atau bukan, hal ini memang menjadi perdebatan. Namun, yang jelas,-berdasarkan catatannya yang terdapat dalam Kitab Risalah ini- ia percaya bahwa manusia dapat memilih secara bebas antara berbuat baik dan buruk. Hasan yakin bahwa manusia bebas memilih antara berbuat baik atau berbuat buruk.[24]
Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan ad-Dismasyqi, menurut Watt, adalah penganut Qadariyah yang hidup setelah Hasan Al-Basri.[25] Kalau dihubungan dengan keterangan Adz-Dzahabi dalam Mizam Al-I’tidal, seperti dikutip Ahmad Amin yang meyatakan bahwa Ma’bad Al-Jauhani pernah belajar pada Hasan Al-Bashri, maka sangat faham Qadariyah ini mula-mula dikembangkan Hasan Al-Bashri. Dengan demikian, keterangan yang di tulis oleh Ibnu Nabatah dalam Syahrul Al-Uyun bahwa faham Qadariyah berasal dari orang Irak Kristen yang masuk Islam kemudian kembali kepada Kristen, adalah hasil rekayasa orang yang tidak sependapat dengan faham ini agar orang-orang tidak tertarik dengan pikiran Qadariyah. Lagi pula menurut Kramer, seperti dikitip lgnas Goldziher, dikalangan Gereja Timur ketika itu terjadi perdebatan tentang butir doktrin Qadariyah yang mencekam pikirann para teolognya.[26]
Berkaitan dengan persoalan pertama kalinya Qadariyah muncul, ada baiknya bila meninjau kembali pendapat Ahmad Amin yang menyatakan kesulitan untuk menentukannya. Para peneliti sebelumnya pun belum sepakat mengenai hal ini karena penganut Qadariyah ketika itu banyak sekali. Sebagian terdapat di Irak dengan bukti bahwa gerakan ini terjadi pada pengajian Hasan Al-Basri. pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Nabatah bahwa yang mencetuskan pendapat pertama tentang masalah ini adalah seorang Kristen dari Irak yang telah masuk Islam pendapatnya itu diambil oleh Ma’bad dan Ghailan. Sebagian lain berpendapat bahwa faham ini muncul di Damaskus. Diduga disebabkan oleh pengaruh orang-orang Kristen yang banyak dipekerjakan di istana-istana khalifah.[27]
Faham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat Arab sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi oleh faham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. faham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika faham Qadariyah dikembangkan, mereka tidak dapat menerimanya. Faham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.       
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tatangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut faham Jabariyah. Ada kemungkinan juga pejabat pemerintahan menganggap gerekan faham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan faham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang dianggap tidak sesuai, dan bahkan dapat menggulingkan mereka tahta kerajaan.
C.   PERBEDAAN DAN PERSAMAAN QADARIYAH DAN JABARIYAH
Perbedaan antara kedua aliran Qadariyah dan Jabariyah adalah: aliran Qadariyah yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, Ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat buruk maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Sedangkan aliran Jabariyah ini berpendapat bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha dan qadar Tuhan. Segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Adapun persamaannya, Qadariyah dan Jabariyah ini adalah sama-sama aliran kepercayaan (teologi) sesuai dengan konteks-politik yang terjadi.    















BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa, baik aliran Qadariyah maupun Jabariyah nampaknya memperlihatkan faham yang saling bertentangan sekalipun mereka sama-sama berpegang pada Al-Qur’an. Hal ini memperlihatkan betapa terbukanya kemungkinan terjadinya perbedaan pendapat dalam Islam. Namun pendapat mana yang lebih baik, tidaklah bias dinilai sekarang. Penilaian yang sesungguhnya akan diberikan oleh Tuhan diakhirat nanti. Penilaian baik atau tidaknya suatu pendapat dalam pandangan manusia mungkin bisa dilakukan dengan cara mencoba menghubungkan pendapat tersebut dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang dalam sejarah. Pendapat yang baik adalah apabila ia berlaku di masyarakat dan dapat bertahan dalam kehidupan manusia.





















                                                Daftar Pustaka

Abdul Rozak, Anwar, Rosihon, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.





[1] Luwis Ma’luf,Al-Munjid fi Al-lughah wa Al-Alam. Beirut, Dar Al-Masyriq, 1998.hlm. 78.
[2] Asy-Syahratnasy Al-Milal wa An-Nihal, Darul Fikr, Bairut, hlm. 85.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan , UI. Press, cet. V. Jakarta, 1986, hlm. 31
[4] Ibid., hlm. 33.
[5]Ahmad Amin. Fajr Al-Islam, Maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah li Ashhabiha Hasan Muhammad wa Auladi. Kairo, 1924, hlm. 45.
[6] Nasution, loc, cit.
[7] Aziz Dahlan, Sejarah Perkembangan Pemikiran dalam Islam. Beuneuubi Cipta. Jakarta, 1987, hlm. 27-29.
[8] Ali Musthafa Al-Ghurabi, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, kairo, 1958, hlm. 15.
[9] Ibid., hlm. 28.
[10] Huwaidhy, Dirasat fi ilmi Al-Kalam wa Al-falsafah Al-Islamiyah, Dar Ats-Tsaqafah, Kairo, 1980, hlm. 98.
[11] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek, UIPress, cet. VI, Jakarta, 1986, hlm. 37.
[12] Sahiludin A. Nasir, Pengantar Ilmu Kalam, Rajawali, 1991, Jakarta, hlm. 133.
[13] Luwis Ma’luf Al-Yusu’I, Al-Munjid, Al-Khatahulikiyah, Bairut, 1945, hlm. 436; lihat juga Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic, Wlesbanden, 1971, hlm. 745.
[14] Al-Yusu’I, op. cit., hlm. 436.
[15] Nasution, Teologi Islam. . .hlm. 31.
[16] W. Montgomery Watt, Islamic Philisophy and Theology: An Extended Survey, Harrassowitz, Edinburgh Univercity, 1992, hlm. 25.
[17] Ahmad Amin, Fajr Al-Islam, maktabah An-Nahdhah Al-Misriyah Li ashhabiha Hasan Muhammad wa Auladihi, kairo, 1924, hlm. 284.
[18] Hadis ini terdapat dalam Sunan Abu Daud, “Kitab As-Sunnah,” bab 16, Fi Al-Qadr, dan dalam Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, Jus II liafadz Al-Hadis An-Nabawi, Jus V, E.J.Brill, Laiden, 1965, hal 318.
[19] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 284
[20] Ibid.
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Al-Bagdadi, Al-Farq bain Al-Firaq, Maktabah Muhammad Ali Subeih. Kairo, hlm. 18.
[24] Watt, op. cit., hlm. 25.
[25] Ibid., hlm. 28.
[26] Ignaz Goldziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, teri. Hersri Setiawan. INIS, Jakarta, 1991, hlm. 79.
[27] Ahmad Amin, op. cit., hlm. 286.

1 komentar:

Posting Komentar